Sudah ku gores sabda-Mu
Di wajah hati
Biar tertinggal bekas
Tak pudar lagi
Embun menjadi saksi
Kumandang kidung - kidung
Surga pada pagi
Ku bentangkan sajadah
Hingga penuhi Ars'y
Pada-Mu ku bersimpuh
Ungkap rasa menjadi rembi
Hingga bernafas Ruhul Kudus
Dalam nadi
@elmira
Kairo 04:15 am
20.01.2010
Jangan Takut, Sesungguhnya Kamulah yang Paling Unggul (menang)
Nabi Musa pernah mengalami ketakutan dalam jiwanya sebanyak tiga kali. Pertama, ketika dia masuk ke dalam persidangan Fir'aun. Musa bergumam,
{Sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.}
(QS. Thâhâ: 45)
Allah pun menjawab,
{Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.}
(QS. Thâhâ: 46)
Sungguh, dalam ingatan dan dalam benak orang mukmin itu harus tertanam penegasaan dari Allah: Janganlah takut, Aku mendengar dan melihat.
Kedua, pada saat para tukang sihir itu melemparkan tongkat mereka. Maka Allah pun berfirman,
{Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).}
(QS. Thâhâ: 68)
Ketiga, pada waktu dikejar Fir'aun dan bala tentaranya. Allah berkata kepadanya:
{Pukullah batu itu dengan tongkatmu.}
(QS Al-Baqarah: 60)
{Musa berkata, "sekali - kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb - ku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk padaku.}
(Q.S Asy - Syu'arâ: 62)
Kisah Musa dan Fir'aun cukup membuka mata kita akan ke AgunganNya. Sekalipun Dia tak pernah tertidur dan kita tak pernah luput dari pandanganNya.
Allah yang menurunkan ketenangan kepada hambanya yang beriman. Allah tidak membutuhkan kita tapi kita yang membutuhkanNya. Lalu mengapa tak menyadari?
Bersyukurlah atas segala, agama yang kita miliki, rumah yang kita singgahi, air yang mengalir murni, sesama yang dapat berbagai.
{Barang siapa mengerjakan amal salih, baik laki - laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.}
(QS. An-Nahl: 97)
Sekalipun jangan pernah meragukannya, letakan Dia ditengah hati kita melebihi apapun. Sesungguhnya milikNya kerajaan dilangit dan bumi.
{Dan, barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.}
(QS. Thâhâ: 123)
Genggam erat-erat Iman milik kalian, jangan biarkan setitik debu menghiasi. Hanya padaNya kita bersimpuh dan hanya padaNya kita meminta.
{Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.}
(QS. Ar-Ra'd:28)
Bertasbilah padaNya. Kita milikNya dan padaNyalah kita akan kembali.
*kisah Musa dikutip dari al-Qarni
Kairo
2010
{Sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.}
(QS. Thâhâ: 45)
Allah pun menjawab,
{Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.}
(QS. Thâhâ: 46)
Sungguh, dalam ingatan dan dalam benak orang mukmin itu harus tertanam penegasaan dari Allah: Janganlah takut, Aku mendengar dan melihat.
Kedua, pada saat para tukang sihir itu melemparkan tongkat mereka. Maka Allah pun berfirman,
{Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).}
(QS. Thâhâ: 68)
Ketiga, pada waktu dikejar Fir'aun dan bala tentaranya. Allah berkata kepadanya:
{Pukullah batu itu dengan tongkatmu.}
(QS Al-Baqarah: 60)
{Musa berkata, "sekali - kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb - ku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk padaku.}
(Q.S Asy - Syu'arâ: 62)
Kisah Musa dan Fir'aun cukup membuka mata kita akan ke AgunganNya. Sekalipun Dia tak pernah tertidur dan kita tak pernah luput dari pandanganNya.
Allah yang menurunkan ketenangan kepada hambanya yang beriman. Allah tidak membutuhkan kita tapi kita yang membutuhkanNya. Lalu mengapa tak menyadari?
Bersyukurlah atas segala, agama yang kita miliki, rumah yang kita singgahi, air yang mengalir murni, sesama yang dapat berbagai.
{Barang siapa mengerjakan amal salih, baik laki - laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.}
(QS. An-Nahl: 97)
Sekalipun jangan pernah meragukannya, letakan Dia ditengah hati kita melebihi apapun. Sesungguhnya milikNya kerajaan dilangit dan bumi.
{Dan, barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.}
(QS. Thâhâ: 123)
Genggam erat-erat Iman milik kalian, jangan biarkan setitik debu menghiasi. Hanya padaNya kita bersimpuh dan hanya padaNya kita meminta.
{Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.}
(QS. Ar-Ra'd:28)
Bertasbilah padaNya. Kita milikNya dan padaNyalah kita akan kembali.
*kisah Musa dikutip dari al-Qarni
Kairo
2010
Balasan Surat Rindu untuk Andaru
Camar sampaikan rindumu padaku malam tadi, semua keadaan disini tidak seperti lalu yang kita bayangkan. Adanya diriku selalu baik dan sehat. Ayah juga ibu yang dihimpun rindu mereka menyayangiku. Dan negeri ini hanya ada satu musim yang dikuasai matahari, tak ada tempat untuk langit menangis.
Andaru sahabatku surat rindumu mengingatkanku pada lalu, sungguh aku ingin memutar waktu.
Andaikan setelah itu aku harus hilang, biarlah..
Asal kebersamaan itu terlulang sekali lagi.
Tak ku dapati kupu - kupu pada negeri ini pun kepak para camar sepertimu. Tapi Andaru aku sudah tak pernah menangis, wajah matahari selalu ada disudut kamar menemaniku, dia bayang bayang dirimu.
Garis takdir memang tertulis sebelum kita dilahirkan, bahkan sebelum tercipta Adam. Ini kehidupan, tak mempunyai hati tak mengenal belas kasih. Silam lalu masih tera kebersamaan, sekarang berpisah sudah lewati muara samudra.
Apa dirimu masih seperti dulu ?
Menantang ombak, melengkung canda di tiap ruang sisi.
Andaru, aku dapati dirimu gundah saat ini. Entah apa yang tertinggal dibenakmu. Kau yang selalu berusaha terlihat tegar dan kuat. Berusah menggenggam semua sendiri. Tapi tanpa dirimu sadari genggaman itu kini merenggang. Aku takut tak ada lagi titipan di tiap sayap camar camar pada pawana.
apa dirimu masih sering tertegun sendiri diatas kapal? berteman sepi?
saksikan para burung berhijrah dan angin menari hingga fajar.
Sekalipun jangan aku ingin saat itu dirimu dalam lelap, tertidur nyenyak.
Masih dapat diriku rasa tiap bisikan laun kata milikmu di telinga,
"Mencapai nadir" bisikmu tenang padaku.
"Jangan biar aku terlebih dahulu" jawabku.
"Biar aku dulu, kalau aku sudah sampai sana nanti kau ku kabari."
"Jangan biar aku lihat dulu apa tempat itu layak untukmu."
"Tapi tetap aku yang akan mencapai awal titik nadir."
"Jangan ini gak adil, biar kita berdua mencapai nadir."
"......................... ..."
Andaru apa dirimu tahu perbedaanmu dengan purnama?
Purnama hanya berpijar saat malam hari
sedang dirimu berpijar disiang maupun malam.
Andaru tampar itu gundah,
aku tak ingin lagi mendengar camar bercerita tentang rapuhmu
Dirimu adalah laksamana sang penakluk di tengah o pui thong
dirimu bukan berada pada lakara
ataupun seorang yang melalang
matahari selalu berharap kau memudar, rangum mimpimu.
tak perlu lagi kesedihan
terus sebrangi impian meski nadi putus menggetih, rarai raga.
Bila takdir memihak nanti, aku menunggu bermain dewi - dewi bersama bumi randu hakiki wahai gadis maki camar.
ingat "bahwa jarak bukanlah aral"
Sahabat yang mencintaimu
Elmira
(Pieris Rapae)
Kairo 2010
Andaru sahabatku surat rindumu mengingatkanku pada lalu, sungguh aku ingin memutar waktu.
Andaikan setelah itu aku harus hilang, biarlah..
Asal kebersamaan itu terlulang sekali lagi.
Tak ku dapati kupu - kupu pada negeri ini pun kepak para camar sepertimu. Tapi Andaru aku sudah tak pernah menangis, wajah matahari selalu ada disudut kamar menemaniku, dia bayang bayang dirimu.
Garis takdir memang tertulis sebelum kita dilahirkan, bahkan sebelum tercipta Adam. Ini kehidupan, tak mempunyai hati tak mengenal belas kasih. Silam lalu masih tera kebersamaan, sekarang berpisah sudah lewati muara samudra.
Apa dirimu masih seperti dulu ?
Menantang ombak, melengkung canda di tiap ruang sisi.
Andaru, aku dapati dirimu gundah saat ini. Entah apa yang tertinggal dibenakmu. Kau yang selalu berusaha terlihat tegar dan kuat. Berusah menggenggam semua sendiri. Tapi tanpa dirimu sadari genggaman itu kini merenggang. Aku takut tak ada lagi titipan di tiap sayap camar camar pada pawana.
apa dirimu masih sering tertegun sendiri diatas kapal? berteman sepi?
saksikan para burung berhijrah dan angin menari hingga fajar.
Sekalipun jangan aku ingin saat itu dirimu dalam lelap, tertidur nyenyak.
Masih dapat diriku rasa tiap bisikan laun kata milikmu di telinga,
"Mencapai nadir" bisikmu tenang padaku.
"Jangan biar aku terlebih dahulu" jawabku.
"Biar aku dulu, kalau aku sudah sampai sana nanti kau ku kabari."
"Jangan biar aku lihat dulu apa tempat itu layak untukmu."
"Tapi tetap aku yang akan mencapai awal titik nadir."
"Jangan ini gak adil, biar kita berdua mencapai nadir."
".........................
Andaru apa dirimu tahu perbedaanmu dengan purnama?
Purnama hanya berpijar saat malam hari
sedang dirimu berpijar disiang maupun malam.
Andaru tampar itu gundah,
aku tak ingin lagi mendengar camar bercerita tentang rapuhmu
Dirimu adalah laksamana sang penakluk di tengah o pui thong
dirimu bukan berada pada lakara
ataupun seorang yang melalang
matahari selalu berharap kau memudar, rangum mimpimu.
tak perlu lagi kesedihan
terus sebrangi impian meski nadi putus menggetih, rarai raga.
Bila takdir memihak nanti, aku menunggu bermain dewi - dewi bersama bumi randu hakiki wahai gadis maki camar.
ingat "bahwa jarak bukanlah aral"
Sahabat yang mencintaimu
Elmira
(Pieris Rapae)
Kairo 2010
Cukuplah Kematian Sebagai Peringatan !
Dokter Jasim al-Haditsy seorang penasehat kesehatan jantung anak di Amir Sulthan Center untuk Penyakit Jantung Rumah Sakit Angkatan Bersenjata Riyadh. Mengisahkan kepadaku, bahwa suatu malam saat ia sedang bertugas di rumah sakit, ada seorang pasien yang meninggal dunia. Ia meletakkan stetoskop di atas dadanya hingga ia mendengarkan suara, 'Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah'...
Ia berkata, "Saya rasa adzan subuh. Kemudian ia bertanya kepada perawatnya, "Jam berapa sekarang?" perawatnya menjawab, "Jam satu malam."
Saya tahu bahwa saat ini belum tiba saatnya adzan subuh, kemudian saya kembali meletakan stetoskop di atas dadanya dan saya kembali mendengarkan adzan tersebut selengkapnya.
Saya bertanya kepada keluarga orang ini, tentang keadaannya semasa hidup, mereja menjelaskan, 'Ia bekerja sebagai muadzdzin (yang mengkumandangkan azan) pada sebuah masjid, biasanya ia datang ke masjid seperempat jam sebelum tiba waktunya atau kadang lebih awal lagi, ia selalu menghatamkan Al-Qur'an dalam tiga hari dan sangat menjaga lisannya dari kesalahan.
Sekarang biar saya kisahkan lagi sebuah kisah yang lain.
Dhiya adalah seorang pegawai yang bertugas memandikan jenazah di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata mengisahkan kepadaku bahwa seorang komandan pleton Angkatan udara memintanya untuk memandikan salah satu rekannya yang telah meninggal.
Dhiya berkata, "Maka saya dan komandan tersebut memandikan rekannya bersama-sama, lalu pada pukul setengah dua belas siang kami berpisah, ia membawa jenazah tersebut ke masjid untuk dishalatkan kemudian ia akan membawanya ke pemakaman, sedangkan saya pulang bersiap-siap untuk menunaikan shalat zhuhur. Pada pukul satu siang rumah sakit menghubungiku bahwa di sana ada satu jenazah yang datang untuk segera dimandikan karena kerabatnya ingin menyalatkannya pada waktu Ashar, maka saya segera berangkat ke rumah sakit. Setibanya di sana saya membuka penutup jenazah tersebut, betapa terkejutnya saya, ternyata jenazah itu adalah komandan pleton yang baru dua jam lalu berpisah dengan saya, dialah yang ikut serta memandikan rekannya yang meninggal lebih dahulu, kemudian membawanya untuk dishalatkan.
Saya sempat kaget dan shock, sehingga tidak bisa menguasai diri. Saya segera pergi ke ruang kantor saya untuk duduk sebentar an berdzikir kepada Allah Ta'ala, kemudian dengan bertawakal kepada Allah saya memandikannya.
Setelah memandikannya saya bertanya kepada kerabatnya, "Apa yang terjadi kepada orang ini?." Mereka menceritakan, "Ia turun ke dalam makam untuk meletakkan jenazah rekannya, dan saat ingin naik ia merasakan sakit di dadanya, lalu ia meninggal di dalam makam tersebut."
Maha Suci Allah,
sungguh benar! Cukuplah kematian sebagai peringatan. Semoga Allah merahmati Ali bin Abi Thalib yang sangat khawatir terhadap dua hal, panjang angan - angan dan memperturutkan hawa nafsu.
Sungguh kisah - kisah kehidupan, kejadian - kejadian nyata yang begitu dekat ini menuntut kita untuk mengintropeksi diri dan merenungkan keadaan kita.
Kita harus menjadikan kematian sebagai pengingat yang selalu melekat dalam pikiran dan benak kita, sehingga ketika melihat baju warna putih kita akan segera mengingat kain kafan, liang lahat, pertanyaan Munkar dan Nakir juga seterusnya. Apakah kita udah siap menghadapinya?.
Adakah di antara kita jika melihat api di tungku ataupun ditempat lain segera bertanya kepada diri sendiri, "Apakah aku telah melakukan satu perbuatan yang mendekatkan diriku padanya." Lalu mengingat ingat semua perbuatan dosanya seraya bertaubatan dan berjanji kepada Allah untuk tidak akan mengulanginya lagi?.
"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." {QS. Al-Zukhruf:36}
Hendaklah kita bersandar pada Al-Qur'an, shalat dan iman.
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tentram." {QS. Al-Ra'd:28} dan sungguh dzikir yang paling utama adalah shalat.
Sesungguhnya kematian adalah sebuah peringatan.
Ia berkata, "Saya rasa adzan subuh. Kemudian ia bertanya kepada perawatnya, "Jam berapa sekarang?" perawatnya menjawab, "Jam satu malam."
Saya tahu bahwa saat ini belum tiba saatnya adzan subuh, kemudian saya kembali meletakan stetoskop di atas dadanya dan saya kembali mendengarkan adzan tersebut selengkapnya.
Saya bertanya kepada keluarga orang ini, tentang keadaannya semasa hidup, mereja menjelaskan, 'Ia bekerja sebagai muadzdzin (yang mengkumandangkan azan) pada sebuah masjid, biasanya ia datang ke masjid seperempat jam sebelum tiba waktunya atau kadang lebih awal lagi, ia selalu menghatamkan Al-Qur'an dalam tiga hari dan sangat menjaga lisannya dari kesalahan.
Sekarang biar saya kisahkan lagi sebuah kisah yang lain.
Dhiya adalah seorang pegawai yang bertugas memandikan jenazah di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata mengisahkan kepadaku bahwa seorang komandan pleton Angkatan udara memintanya untuk memandikan salah satu rekannya yang telah meninggal.
Dhiya berkata, "Maka saya dan komandan tersebut memandikan rekannya bersama-sama, lalu pada pukul setengah dua belas siang kami berpisah, ia membawa jenazah tersebut ke masjid untuk dishalatkan kemudian ia akan membawanya ke pemakaman, sedangkan saya pulang bersiap-siap untuk menunaikan shalat zhuhur. Pada pukul satu siang rumah sakit menghubungiku bahwa di sana ada satu jenazah yang datang untuk segera dimandikan karena kerabatnya ingin menyalatkannya pada waktu Ashar, maka saya segera berangkat ke rumah sakit. Setibanya di sana saya membuka penutup jenazah tersebut, betapa terkejutnya saya, ternyata jenazah itu adalah komandan pleton yang baru dua jam lalu berpisah dengan saya, dialah yang ikut serta memandikan rekannya yang meninggal lebih dahulu, kemudian membawanya untuk dishalatkan.
Saya sempat kaget dan shock, sehingga tidak bisa menguasai diri. Saya segera pergi ke ruang kantor saya untuk duduk sebentar an berdzikir kepada Allah Ta'ala, kemudian dengan bertawakal kepada Allah saya memandikannya.
Setelah memandikannya saya bertanya kepada kerabatnya, "Apa yang terjadi kepada orang ini?." Mereka menceritakan, "Ia turun ke dalam makam untuk meletakkan jenazah rekannya, dan saat ingin naik ia merasakan sakit di dadanya, lalu ia meninggal di dalam makam tersebut."
Maha Suci Allah,
sungguh benar! Cukuplah kematian sebagai peringatan. Semoga Allah merahmati Ali bin Abi Thalib yang sangat khawatir terhadap dua hal, panjang angan - angan dan memperturutkan hawa nafsu.
Sungguh kisah - kisah kehidupan, kejadian - kejadian nyata yang begitu dekat ini menuntut kita untuk mengintropeksi diri dan merenungkan keadaan kita.
Kita harus menjadikan kematian sebagai pengingat yang selalu melekat dalam pikiran dan benak kita, sehingga ketika melihat baju warna putih kita akan segera mengingat kain kafan, liang lahat, pertanyaan Munkar dan Nakir juga seterusnya. Apakah kita udah siap menghadapinya?.
Adakah di antara kita jika melihat api di tungku ataupun ditempat lain segera bertanya kepada diri sendiri, "Apakah aku telah melakukan satu perbuatan yang mendekatkan diriku padanya." Lalu mengingat ingat semua perbuatan dosanya seraya bertaubatan dan berjanji kepada Allah untuk tidak akan mengulanginya lagi?.
"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." {QS. Al-Zukhruf:36}
Hendaklah kita bersandar pada Al-Qur'an, shalat dan iman.
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tentram." {QS. Al-Ra'd:28} dan sungguh dzikir yang paling utama adalah shalat.
Sesungguhnya kematian adalah sebuah peringatan.
Melukis Bayang
Tangkai hati, fajar tadi ku lihat setitik embun bercumbu diputik mawar, ingung bermagenta, bening selaksana batari.
Ah.. Entah bagaimana Tuhan mewarnai embun. Hingga menjadi sirip sirip dewa pada pagi.
Kepada embun diriku tuai pinta, secawan dawat bening. Lalu merangkainya dengan rona mimpi, agar diriku lukis rindu diatas bayangmu
: Tangkai hati
Ini diriku melukis, memejam mata bertumpu pada rasa. Menapaki lingar bayang. Lingkar harapan, lampar impian.
Di titik semu diriku mulai. Percah percak dawat diriku rarai. Telah diriku sayat wajah dusta. Agar fatamorgana rancak sempurna.
: Di kanvas satu warna
Secercah cahaya di sisi, selingkar harapan dan impian diruas pada wajah.
Adakah dirimu mengerti ?
@elmira
Kairo
22 Januari 2010 [19:25]
Angan Ngarai (3)
Purnama sahaja memacik malam
Pawana menari, pun bunga
Beringung
Andai mereka itu kita...
Sehari tanpamu saja diriku tak bisa
Melihat namamu diriku merindu
Bila memikirkanmu diriku
Terpejam tangis
Genggam diriku sayang
Ini angan ngarai
Diriku mencintai Tuhan
Yang tak terlihat
Seperti mencintai dirimu
Yang tak tersentuh
Ah, tangkai hati..
Saat ini hanya cinta yang diriku
Punya
@elmira
Kairo,
22 Januari 2010 [17:52]
Bulan Biru
Bulan biru
Kidung buluh perindu
Saruloka kelabu
Percik tenggara
Tampar batara
Ah, sarau..
Laknat cintaku terhujam
Harapan rapun sudah
Bulan biru
Rinduku beku
Pudar meramu
@elmira
Kairo,
22 Januari 2010 [07:32]
Kidung buluh perindu
Saruloka kelabu
Percik tenggara
Tampar batara
Ah, sarau..
Laknat cintaku terhujam
Harapan rapun sudah
Bulan biru
Rinduku beku
Pudar meramu
Kairo,
22 Januari 2010 [07:32]
Takdir Jumantara
Cukup gegap gempita di jumantara luas, biarlah sekali bumi tak bersua mengunyah sunyi meski ribu menghuni. Mentari pakailah cadar ini sejenak, milik batari surga selatan.
Lalu pudarkan pijarmu setengah.
Agar pasir berbisik gemersiknya menghening. Musafir kelana hilang rimpuh, tak tuai dahaga pada rangkung.
Serpih gedabah mentari yang tertinggal mengecup mesra wajah bumi. Lalu beranjak pulang ke timur.
Senja menapak langit, hiasi lazuardi rancaknya memikat, manik manik teja mengundang perlip. Rembulanpun mengintip sedikit.
Tapi aku menutup tirai...
Ada kerapuhan di pelupuk senja, yang tertutup tak terlihat.
Senja dirimu tak lebih rangup dariku.
Malam memacik rusukmu hampir remuk.
Agar engkau tak menjadi nata dan dirinya tetap dawana penyanggah pilar tawang.
Andai mereka tau betapa rapuhnya engkau senja... silu.
Denting ranting rampun sepai
hening
Kelingking gemintang berdenting
saksimu.
Rupa warni dawat milik Tuhan menghias guratan karya. Cipta waruga hadap muka.
Lalu dawat pelangi yang tertumpah basahi bumi, menjadi cakrawala, dibawa pergi mengawan cabak cabak.
Hingga kerai di tutup, menunggu esok kembali.
@elmira
Lalu pudarkan pijarmu setengah.
Agar pasir berbisik gemersiknya menghening. Musafir kelana hilang rimpuh, tak tuai dahaga pada rangkung.
Serpih gedabah mentari yang tertinggal mengecup mesra wajah bumi. Lalu beranjak pulang ke timur.
Senja menapak langit, hiasi lazuardi rancaknya memikat, manik manik teja mengundang perlip. Rembulanpun mengintip sedikit.
Tapi aku menutup tirai...
Ada kerapuhan di pelupuk senja, yang tertutup tak terlihat.
Senja dirimu tak lebih rangup dariku.
Malam memacik rusukmu hampir remuk.
Agar engkau tak menjadi nata dan dirinya tetap dawana penyanggah pilar tawang.
Andai mereka tau betapa rapuhnya engkau senja... silu.
Denting ranting rampun sepai
hening
Kelingking gemintang berdenting
saksimu.
Rupa warni dawat milik Tuhan menghias guratan karya. Cipta waruga hadap muka.
Lalu dawat pelangi yang tertumpah basahi bumi, menjadi cakrawala, dibawa pergi mengawan cabak cabak.
Hingga kerai di tutup, menunggu esok kembali.
@elmira
Bayang Musa
Angin semilir berhembus
Menari tenang menerpa wajah
Mandala mentari sempurna
Sudah..
Ruang masa Musa masih
Membekas
Pasir yang tergenggam berbisik
Seakan ingin bercerita
Tentang kenang lalu
Tak lekang waktu
Puing puing kokoh saksi hidup
Sakandaria menjadi penutup
Pengorbanan untuk Tuhan
Dan mahluk terkutuk Tuhan
Sekarang hanya tinggal kenang
Yang tak dikenang
Hanya sebuah kekaguman puing
tiga sisi
Tanpa merisak pengorbanan lalu
Ah.. bayang - bayang itu masih
Dapat ku rasa
Hingga pasara penghabisan
@elmira
Menari tenang menerpa wajah
Mandala mentari sempurna
Sudah..
Ruang masa Musa masih
Membekas
Pasir yang tergenggam berbisik
Seakan ingin bercerita
Tentang kenang lalu
Tak lekang waktu
Puing puing kokoh saksi hidup
Sakandaria menjadi penutup
Pengorbanan untuk Tuhan
Dan mahluk terkutuk Tuhan
Sekarang hanya tinggal kenang
Yang tak dikenang
Hanya sebuah kekaguman puing
tiga sisi
Tanpa merisak pengorbanan lalu
Ah.. bayang - bayang itu masih
Dapat ku rasa
Hingga pasara penghabisan
@elmira
Bulan Biru
Cakrawala pernah membutakan
Asah
Melenakan biduk yang melaju
Membelah horizon
Menjelajahi riak di tujuh samudra
Seraya memuja semilir angin
Saat riak bersimpuh rebah
Malam balik menyanggah
Cadar bergegas membentang
Mengepung
Langit menangkup kedip berjuta
Kartika
Kabutpun memburu melingsing
Melipur
Tepian luruh ditelan lembayung
Kelam
Sepercah bayangmu tersisa
Perlahan
Menghilang di balik selubung
Silam
@elmira
Asah
Melenakan biduk yang melaju
Membelah horizon
Menjelajahi riak di tujuh samudra
Seraya memuja semilir angin
Saat riak bersimpuh rebah
Malam balik menyanggah
Cadar bergegas membentang
Mengepung
Langit menangkup kedip berjuta
Kartika
Kabutpun memburu melingsing
Melipur
Tepian luruh ditelan lembayung
Kelam
Sepercah bayangmu tersisa
Perlahan
Menghilang di balik selubung
Silam
@elmira
Penyair Elia Abu Madhi
Orang berkata, "Langit selalu berduka dan mendung."
Tapi Elia berkata, "Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana."
Orang berkata, "Masa muda telah berlalu dariku."
Tapi Elia berkata, "Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda takkan pernah mengembalikannya."
Orang berkata, "Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka. Janji - janji telah menghianatiku ketika kalbu telah menguasainya. Bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya."
Maka Eliapun berkata, "Tersenyum dan berdendanglah, kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya."
Orang berkata, "Perdagangan selalu penuh intrik dan penipuan, ia laksana musafir yang akan mati karena terserang rasa haus."
Tapi Elia berkata, "Tetaplah tersenyum, karena engkau akan mendapat penangkalan dahagamu. Cukuplah engkau tersenyum, karena mungkin hausmu akan sembuh dengan sendirinya. Maka mengapa engkau harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain, apalagi sampai engkau seolah - olah yang melakukan dosa dan kesalahan itu .. ?
Orang berkata, "Sekian hari raya telah tampak tanda - tandanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka - boneka. Namun telapak tanganku tak memegang meski hanya satu dirham adanya (1 rupiah)."
Elia mengatakan: "Tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena Anda masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara - saudara juga kerabat yang engkau cintai."
Orang berkata, "Malam memberiku minuman 'alqamah."
Tapi Elia berkata, "Tersenyumlah, meskipun kau makan buah 'alqamah.
Mungkin saja orang lain melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdendanglah apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakkan wajah berseri ..?
Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu tampak indah berseri
tertawalah, sebab meteor - meteor langit juga tertawa, pun mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang - bintang.
Orang berkata: "Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah."
Dan Eliapun menjawab: "Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum."
Tapi Elia berkata, "Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana."
Orang berkata, "Masa muda telah berlalu dariku."
Tapi Elia berkata, "Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda takkan pernah mengembalikannya."
Orang berkata, "Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka. Janji - janji telah menghianatiku ketika kalbu telah menguasainya. Bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya."
Maka Eliapun berkata, "Tersenyum dan berdendanglah, kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya."
Orang berkata, "Perdagangan selalu penuh intrik dan penipuan, ia laksana musafir yang akan mati karena terserang rasa haus."
Tapi Elia berkata, "Tetaplah tersenyum, karena engkau akan mendapat penangkalan dahagamu. Cukuplah engkau tersenyum, karena mungkin hausmu akan sembuh dengan sendirinya. Maka mengapa engkau harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain, apalagi sampai engkau seolah - olah yang melakukan dosa dan kesalahan itu .. ?
Orang berkata, "Sekian hari raya telah tampak tanda - tandanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka - boneka. Namun telapak tanganku tak memegang meski hanya satu dirham adanya (1 rupiah)."
Elia mengatakan: "Tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena Anda masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara - saudara juga kerabat yang engkau cintai."
Orang berkata, "Malam memberiku minuman 'alqamah."
Tapi Elia berkata, "Tersenyumlah, meskipun kau makan buah 'alqamah.
Mungkin saja orang lain melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdendanglah apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakkan wajah berseri ..?
Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu tampak indah berseri
tertawalah, sebab meteor - meteor langit juga tertawa, pun mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang - bintang.
Orang berkata: "Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah."
Dan Eliapun menjawab: "Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum."
@elmira
Tangkai Hati (4)
Untukmu Pemilik sayap putih
Yang mengisi sepi
Hanya padamu yang Berpijar di Hati
Apakah dirimu tau
Makna di tiap rembi milikku.. ?
Membutir habelur
Sebening embun..
Tanpa tersentuh jemarimu
Ini aku
Masih tertegun di sudut waktu
Menggenggam cakrawala lingar
Pucuk rindu meranum
Di tangis sedu merayu
Maafkan diriku sayang
Yang menerus berselir rembi
Ini tutur akhir
Sebelum nadi tersayat perih
: Kau adalah nafas di setiap detak Jantungku
@elmira
Yang mengisi sepi
Hanya padamu yang Berpijar di Hati
Apakah dirimu tau
Makna di tiap rembi milikku.. ?
Membutir habelur
Sebening embun..
Tanpa tersentuh jemarimu
Ini aku
Masih tertegun di sudut waktu
Menggenggam cakrawala lingar
Pucuk rindu meranum
Di tangis sedu merayu
Maafkan diriku sayang
Yang menerus berselir rembi
Ini tutur akhir
Sebelum nadi tersayat perih
: Kau adalah nafas di setiap detak Jantungku
@elmira
Signorina
Tak ada apapun di depan cermin
Hanya bayang pantul signorina
Purnama tanpa pijar
Pelangi kelabu
Lin gurat kaca
Telapak yang menyentuh
Rembi angan - angan
... Sendiri
Senyap ...
Dan signorinapun menangis
@elmira
Hanya bayang pantul signorina
Purnama tanpa pijar
Pelangi kelabu
Lin gurat kaca
Telapak yang menyentuh
Rembi angan - angan
... Sendiri
Senyap ...
Dan signorinapun menangis
@elmira
Lithium
Waruna remuk sudah
Rarai raga
Di laut tak berteduh
Ini jantung bumi ku kerat - kerati
Di khatulistiwa senyap sepi
Untukmu ku genggam alam
Meski menggetih
Putus nadi
O, Tuhan pemurah hati
Ini lelaki tutur batara
Berhati safa barata siwa
Seumpama pualam magenta
Sabdakan alam baginya
Hingga bumipun tersenyum
Padanya
@elmira
Rarai raga
Di laut tak berteduh
Ini jantung bumi ku kerat - kerati
Di khatulistiwa senyap sepi
Untukmu ku genggam alam
Meski menggetih
Putus nadi
O, Tuhan pemurah hati
Ini lelaki tutur batara
Berhati safa barata siwa
Seumpama pualam magenta
Sabdakan alam baginya
Hingga bumipun tersenyum
Padanya
@elmira
Ranting Sepi
Aku ranting sepi
Tutur tak bermakna
Kataku mengembang hening
Tempat hinggap lelah rimpuh
Yang berterbangan
Hingga sulit tergenggam
Ini ranting sepi
Berteman dedaun kering
Di pelepas dewadaru
Menjadi budak bermahing
Tak mengharap lembayung senja
Ataupun embun di pelupuk mata
Jua pijar mentari pada dahina
Adanya ranting sepi
Seumpama
Malam Tanpa purnama
Tanpa gemintang
Zohra dua belas rasi
Maupun Sabitah
Ini ranting sepi
Ronta hati
Dingin sunyi
Berteman pawana
Bersama signorina lesi
Dawai Balalaika
Bersenar nadi
@elmira
Tutur tak bermakna
Kataku mengembang hening
Tempat hinggap lelah rimpuh
Yang berterbangan
Hingga sulit tergenggam
Ini ranting sepi
Berteman dedaun kering
Di pelepas dewadaru
Menjadi budak bermahing
Tak mengharap lembayung senja
Ataupun embun di pelupuk mata
Jua pijar mentari pada dahina
Adanya ranting sepi
Seumpama
Malam Tanpa purnama
Tanpa gemintang
Zohra dua belas rasi
Maupun Sabitah
Ini ranting sepi
Ronta hati
Dingin sunyi
Berteman pawana
Bersama signorina lesi
Dawai Balalaika
Bersenar nadi
@elmira
Tangkai Hati (3)
Padanya tak ingin dusta
Bisuku galau
Sunyiku gulana
Adanya diriku gundah
Rangup jiwa...
Di sini genggam lingar lara
Ini rembi tak rampung
Namun ku rimpuh
Rarai hati
Bersama sehelai inai
Tanpa pedapa
Kau dan aku
Mungkinkah memintal
Kembali
Di jarum patah
Maafkan
Bisuku galau
Sunyiku gulana
Adanya diriku gundah
Rangup jiwa...
Di sini genggam lingar lara
Ini rembi tak rampung
Namun ku rimpuh
Rarai hati
Bersama sehelai inai
Tanpa pedapa
Kau dan aku
Mungkinkah memintal
Kembali
Di jarum patah
Maafkan
Surat di Kelopak Mawar
: Pada Pangeran pemilik Tahta
Ku layahkan kelopak Mawar ini Ke Arsy Yang Agung
Dalam liuk pawana
Di alunan lentesasi Kupu - kupu
Berdawai alam...
Membumbung Kelopakku
Mengawanlah
Naik menerus
Lewati langit tujuh
Langkahi Jibril pemilik Tujuh puluh sembilan Sayap
Sampaikan ini pada Sang Kudus
Tidakkah kalian tahu Karubin langit
Di dalam kelopak itu Telah diriku gores Mutiara laal
Yang bertulis dan Berpijar;
Bahwa
Hidupku cintaku
Ibadahku dan
Matiku adalah milikMu
Tak ada yang perlu Diriku sesali
Hapus air mata ini
Lalu
Sahkan tiap kataku
Hanya untukMu Pangeran pemilik Langit dan bumi
@elmira
Ku layahkan kelopak Mawar ini Ke Arsy Yang Agung
Dalam liuk pawana
Di alunan lentesasi Kupu - kupu
Berdawai alam...
Membumbung Kelopakku
Mengawanlah
Naik menerus
Lewati langit tujuh
Langkahi Jibril pemilik Tujuh puluh sembilan Sayap
Sampaikan ini pada Sang Kudus
Tidakkah kalian tahu Karubin langit
Di dalam kelopak itu Telah diriku gores Mutiara laal
Yang bertulis dan Berpijar;
Bahwa
Hidupku cintaku
Ibadahku dan
Matiku adalah milikMu
Tak ada yang perlu Diriku sesali
Hapus air mata ini
Lalu
Sahkan tiap kataku
Hanya untukMu Pangeran pemilik Langit dan bumi
@elmira
Ngiau Burung Gereja
apa dirimu sedang sengap engap
di sangkar emas tanpa ukir
atau menangis sejenak dalam semak belukar tanpa senggak
di sana tak ku dapati rintihan tiap aksara ngiau milikmu
ataupun kesedihan di pelupuk mata itu burung gereja
ini saat beban berat wahai derita burung gereja
matahari lelah pijar tanggalkanmu tanpa bayang
langit menutup mata astana malam mulai meraja
pelangi pudar sudah..
"aku sendiri di sini" katamu tertunduk sepi
"tidak adakah yang menjual kematian, hingga diriku dapat membelinya" gumammu burung gereja
ini hunian sepi
tempat sembunyi arwah mati
ujung dunia adalah kebinasaan dia akan datang dengan sendirinya
tak perlu di harapkan
tak perlu di impikan
hanya perlu menanti dan berdoa
wahai engkau derita
sekarang dapat ku lihat kesedihan di pelupuk mata burung gereja
yang terus berharap
genggam sayap patah
merangkak di wajah bumi
@elmira
di sangkar emas tanpa ukir
atau menangis sejenak dalam semak belukar tanpa senggak
di sana tak ku dapati rintihan tiap aksara ngiau milikmu
ataupun kesedihan di pelupuk mata itu burung gereja
ini saat beban berat wahai derita burung gereja
matahari lelah pijar tanggalkanmu tanpa bayang
langit menutup mata astana malam mulai meraja
pelangi pudar sudah..
"aku sendiri di sini" katamu tertunduk sepi
"tidak adakah yang menjual kematian, hingga diriku dapat membelinya" gumammu burung gereja
ini hunian sepi
tempat sembunyi arwah mati
ujung dunia adalah kebinasaan dia akan datang dengan sendirinya
tak perlu di harapkan
tak perlu di impikan
hanya perlu menanti dan berdoa
wahai engkau derita
sekarang dapat ku lihat kesedihan di pelupuk mata burung gereja
yang terus berharap
genggam sayap patah
merangkak di wajah bumi
@elmira
Sarsar .. ?
Merangkai diriku di tiap jejak tapak
Agar melayah pasti
Menyergap, sesak hati
Mengapa tak di rimpung saja diri ini
Lalu kau ripuk hati ini
Biar tak ada lagi risak pada dada
Iya pada hati ini...,
Tapi bukan manik Cintaku
Itu milikku
Biar diriku abadikan cinta ini pada Seleguri
Ingin aku menempik padamu
Agar bertempiar.. !
Ah.. sudahlah sudah
Biar terus ku rajut harap ini
Meski rembi menggetih
Hingga merenyap adanya diriku
@elmira
Agar melayah pasti
Menyergap, sesak hati
Mengapa tak di rimpung saja diri ini
Lalu kau ripuk hati ini
Biar tak ada lagi risak pada dada
Iya pada hati ini...,
Tapi bukan manik Cintaku
Itu milikku
Biar diriku abadikan cinta ini pada Seleguri
Ingin aku menempik padamu
Agar bertempiar.. !
Ah.. sudahlah sudah
Biar terus ku rajut harap ini
Meski rembi menggetih
Hingga merenyap adanya diriku
@elmira
Angan Ngarai (2)
Tak kudapati kupu - Kupu di pagi ini
Hanya ada bayang Malam yang masih Tertinggal di pojok Kamar
Dan matahari dengan Wajah setengah luka Menimang awan
Pasir menggerisik Berbisik laun
Angin bersenadung Rintih
Aku masih di sini
Di pojok jendela kamar
Mengecup rindu
Meminang impi
Bersama inay kering
Yang tergenggam
Dan peluh butir pasir Alexandria
@elmira
Kairo - Jogja
Hanya ada bayang Malam yang masih Tertinggal di pojok Kamar
Dan matahari dengan Wajah setengah luka Menimang awan
Pasir menggerisik Berbisik laun
Angin bersenadung Rintih
Aku masih di sini
Di pojok jendela kamar
Mengecup rindu
Meminang impi
Bersama inay kering
Yang tergenggam
Dan peluh butir pasir Alexandria
@elmira
Kairo - Jogja
Sajak Kupu - Kupu
Cakrawala pagi
Di ujung pateram
Kupu - kupu
Tarikan lentesasi
Berwirama
Pesona sanjalaya
Dahlia beringgung
Awan melayang
Kidung - kidung surga Bersemayam
Bersama bidara pemetik
Harpa safa
Habelur kupu - kupu
Dikara dirimu
Jangan pernah rimpuh
Aku ada untuk dekapmu
@elmira
Di ujung pateram
Kupu - kupu
Tarikan lentesasi
Berwirama
Pesona sanjalaya
Dahlia beringgung
Awan melayang
Kidung - kidung surga Bersemayam
Bersama bidara pemetik
Harpa safa
Habelur kupu - kupu
Dikara dirimu
Jangan pernah rimpuh
Aku ada untuk dekapmu
@elmira
Untuk Semua Sahabatku
Ini putik mawar setengah Pagi
Berembun bening
Indah magenta
Tanpa ukir peduri
Bersangkak satu
Pegari itu menawan
Pedapa - pedapa senyum
Menatap
Dewandaru menaungi
Kita...
Gomennasai darikku
Dan
Terimakasih untuk kalian
@elmira
Berembun bening
Indah magenta
Tanpa ukir peduri
Bersangkak satu
Pegari itu menawan
Pedapa - pedapa senyum
Menatap
Dewandaru menaungi
Kita...
Gomennasai darikku
Dan
Terimakasih untuk kalian
@elmira
Sajak Bunga Kapas
Terkadang tegar bagai karang tak Bertepi
Tak jua merapuh lingar rarai
Semburat semua dikara
Genggam air mata
Lalu layah
Mengawan putih menawan
Tak ada keluh pada Sang Hyang
Wirama tarian batari
Penghias alam
Dahina bersama pawana
Bunga kapas pemilik nyawa
Satu hari
@elmira
Tak jua merapuh lingar rarai
Semburat semua dikara
Genggam air mata
Lalu layah
Mengawan putih menawan
Tak ada keluh pada Sang Hyang
Wirama tarian batari
Penghias alam
Dahina bersama pawana
Bunga kapas pemilik nyawa
Satu hari
@elmira
Sajak Pedapa
Sepatah ujung ranting
Di kediaman puing
Tertanam habelur
Salju safa
Di tinggal dewadaru
Gigil menggerisik
Terbuang
Hanyut berlithium
Hingga rembi menggetih
@elmira
Di kediaman puing
Tertanam habelur
Salju safa
Di tinggal dewadaru
Gigil menggerisik
Terbuang
Hanyut berlithium
Hingga rembi menggetih
@elmira
Syair Aidh al - Qarni
Betapa banyak engkau mengeluh dan berkata tak punya apa - apa, padahal bumi, langit, dan bintang adalah milikmu.
Ladang, bunga segar, bunga yang semerbak, burung bulbul yang bernyanyi riang.
Air di sekitarmu memancar berdecak, dan matahari yang di atas kepalamu memandang geram penuh amarah.
Cahaya di kaki dan puncak bukit membangun tanah lapang yang rata di bukit - bukit dan sebentar lagi rusak.
Dunia ceria kepadamu lalu mengapa engkau cemberut, dan dia tersenyum mengapa engkau tidak tersenyum.
Jika engkau sedih dengan kemuliaan yang telah lalu, tak kan lagi penyesalan mengembalikannya.
Atau engkau murung karna adanya musibah, tapi tak mungkin engkau mencegah datangnya musibah.
Jika telah engkau lewati masa mudamu jangan engkau katakan, zaman telah tua sebab zaman tak pernah tua.
Lihatlah masih ada gambar - gambar yang mengintip di balik embun yang seakan bicara karena indahnya.
@elmira
Ladang, bunga segar, bunga yang semerbak, burung bulbul yang bernyanyi riang.
Air di sekitarmu memancar berdecak, dan matahari yang di atas kepalamu memandang geram penuh amarah.
Cahaya di kaki dan puncak bukit membangun tanah lapang yang rata di bukit - bukit dan sebentar lagi rusak.
Dunia ceria kepadamu lalu mengapa engkau cemberut, dan dia tersenyum mengapa engkau tidak tersenyum.
Jika engkau sedih dengan kemuliaan yang telah lalu, tak kan lagi penyesalan mengembalikannya.
Atau engkau murung karna adanya musibah, tapi tak mungkin engkau mencegah datangnya musibah.
Jika telah engkau lewati masa mudamu jangan engkau katakan, zaman telah tua sebab zaman tak pernah tua.
Lihatlah masih ada gambar - gambar yang mengintip di balik embun yang seakan bicara karena indahnya.
@elmira
Langganan:
Postingan (Atom)