Lukisan sayu dalam bingkai sepi dikelabu labirin diperaduan pijar huni, pada putaran denting perjalanan tiap detik. Memungut remah bisu yang berdiam diantara suara menderu. Semut merangkak hiasi sunyi mengembang menjadi nurani. Jemari-jemari mengepal menyentuh dinding tapak permukaan hening. Dingin.
Angin yang mengalun ras-ras diantara ribuan dedaun kering jua reranting patah tertelan langkias. Tak dapati satu senyum, lalu ada air mata yang menetes rintis mengembang rintik.
Ini bukan pemberian langit, tapi angin yang sedang menangis.
Basahi tiap jengkal lorong-lorong hingga lewati permukaan tenjet bercampur getih menyalir pada gemercak percik air mengombang kelesuh. Tiap helai rambut menarinari. Bibir gigil mengigit. Ada dekih yang melingking hingga purnama sungsang melintang.
Diujung pilar sana mengibas pendar ratakan semu antara genangan yang sudah memecah bening
: sepucuk warnasari.
Hiasi anganangan sepi, dilima Tuhan warna pelangi. Membuncah setitik impi, beringgung bercumbu tuangkan harapan baru.
Dan di muara pilar lahir sepenggal senyum rasi malaikat satu, lalu untuk kesekian kali tertidur kembali tanpa ranyau tanpa rapal.
@elmira
Kairo, 23 Februari 2010 [19:42]
Kairo, 23 Februari 2010 [19:42]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar